Kamis, 17 Oktober 2013

PERSEPULUHAN



Persepuluhan
Maleakhi 3:6-12
By: Okter Tapilouw, S.S i  

Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumahKu dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam,apakah Aku tidak  membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan. (ayat 10)

Apa yang sedang diupayakan dalam hidup ini ! Bagi orang percaya – seluruh hidup kita adalah karena Kasih Karunia Tuhan.
Pekerjaan sesehari yang menumpuk dan menyita waktu, kebutuhan material, berupaya memenuhi pendidikan anak, juga kebutuhan rohaniah untuk semakin dekat dengan Tuhan.
Bagaimana seharusnya kita mewujudkan berbagai hal yang sedang diperjuangkan ?
Di pertanyakan pada ayat 8: “ Bolehkah manusia menipu Allah ? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata: “Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau ?” mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus !
Bolehkah manusia menipu dari Allah ? atau bolehkah Orang Kristen menipu dari Allah ?
Kebesaran Kasih Allah telah nyata dalam kehidupan kita secara apa adanya. Keterbatasan diri, ketamakan, uang dan harta kekayaan lainnya: Beberapa hal ini, perlu diwaspadai, sebab jika tidak ditata dan dimanfaatkan dengan baik, sangat mungkin berpotensi merusak jati diri anak-anak Tuhan yang harus menyerahkan diri secara utuh kepada Allah. Sudah banyak yang terbukti; ada yang menjauhi dan dijauhi saudara sendiri, hidup hanya berpusat pada materi, mengorbankan orang lain untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar – bahkan mungkin untuk memberi bagi Tuhan dalam pelayanan dan kesaksian – adakah orang Kristen yang main perhitungan ?
Firman Tuhan bagi bangsa Israel : “Kembalilah kepadaKu, maka Aku akan kembali kepadaMu.
Kita diharuskan untuk kembali. Dengan tetap berada dijalan Tuhan, maka Tuhan akan berpihak kepada kita. Tidak kurang dari orang percaya yang merasa sudah kembali, atau hidup bersama Tuhan, tapi sebenarnya belum kembali. Saya mengatakan ini, karena banyak dari kita yang sering menipu diri sendiri. Bagi saya : menipu diri sendiri itu, tidak beda dengan menipu Tuhan (ingat kisah Ananias dan Safira).
Ketulusan, kejujuran, dan kerelaan untuk memberi dari hasil kerja keras dan apa yang sedang dinikmati sekarang ini, adalah juga kebahagiaan untuk memuliakan Tuhan, dan dari sanalah kita menjadi penyalur-penyalur berkat bagi orang lain.
10% Rugikah kita ?  ketika kita mendapatkan 10.000,- kemudian memberikan 1.000,-  atau 100,000,- dan memberikan 10,000,- sebagai tanda ungkapan syukur kepada Allah  yang telah menguatkan kita untuk hidup di tengah-tengah dunia ini ?
Firman Tuhan : “Bawalah seluruh persembahan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makan di rumahKu dan ujilah Aku, Firman Tuhan semesta alam, apakah aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan”(ayat 10).
Sudahkah kita memberi ? apa yang kita beri ? tuluskah kita ? Atau adakah dari kita yang selama ini belum pernah memberi            persepuluhan ?
Andaikata; Tuhan kita seperti “Rentenir” atau “Tukang Tagih Hutang” !, saya kira ada begitu banyak orang Kristen yang mengunci pintu rapat-rapat, atau melarikan diri, lantaran hutang persepuluhannya sudah menumpuk bertahun-tahun dan sepertinya sulit untuk dilunasi,,,, ha ha ha ha .
Sayangnya Tuhan kita; tidak seperti itu. Dia bahkan menunggu kita untuk segera bertobat dan berbalik kepadaNya. Bagi orang percaya, Yesus Kristus telah menjadi persembahan  yang sempurna, yang rela menyerahkan dariNya menjadi tebusan bagi dunia ini. Karena itu tidaklah salah, jika saya mengatakan bahwa: Apapun yang telah kita terima dari Allah, dan apa pula yang kita berikan bagiNya, akan mencerminkan hati kita; yaitu: Hati yang rela, tulus, jujur dan benar.  Jika kita dipenuhi dengan kerelaan, kejujuran, ketulusan, dan kebenaran dalam hal memberi bagi pekerjaan pelayananNya, maka tidak akan sulit bagi kita untuk melakukannya terhadap sesama. Sepersepuluh saja sudah menyenangkan Tuhan ! Apalagi 15, 20, 30% dan seterusnya yang diberi dengan hati yang tulus dan tidak bersungut-sungut.
Ketulusan dalam memberi persepuluhan itu; bukan seperti orang memberi makan binatang peliharaan, dari sisa (ampas) yang sudah kita makan terlebih dahulu; tetapi Firman Tuhan menegaskan “Bawalah seluruh persembahan itu”, sekali lagi “seluruh”;  Artinya harus 100 % bukan 99 % atau yang sesuai keinginan kita. Kita memang harus memberi, dan pemberian kita itu – harus sesuai dengan keinginan Tuhan; dan yang Tuhan inginkan itu hanya 10 % yang diberikan dengan hati yang 100%.  
Bagi kita yang penuh ketulusan sudah membawa apa yang menjadi Hak Tuhan; Tuhan bahkan mau bilang ke kita: “Ujilah Aku……”.  Semoga !!! 

Senin, 14 Oktober 2013

KEMITRAAN WADAH PELAYANAN LAKI-LAKI & PEREMPUAN JEMAAT GPM WAIHATU (Pantai Hatuhuran - 14 Oktober 2013)

Pdt. Okter Tapilouw, S.Si

 Ibadah Mitra - Wadah Pelayanan Laki-laki dan Perempuan GPM Jemaat Waihaitu, dilaksanakan dalam bentuk Ibadah Pantai
 Materi diskusi Tentang "PERTUMBUHAN JEMAAT" dibawakan oleh Ketua Majelis Jemaat GPM Waihatu: Pdt. Okter Tapilouw
Mendalami Materi

Singers


Selasa, 01 Oktober 2013

MUNAFIK !!!

Sia-sia saja menyuarakan, keadilan, cinta-kasih, kesabaran dan lainnya yang baik-baik dari mimbar perdamaian pada orang-orang muda yang emosional dan tidak sabaran atau kepada perempuan-perumpuan yang suka ngerumpi, jika ternyata mereka sudah mengetahui "Sang Pengkhotbah" pernah berbohong, berdusta, dan perbuatan jahat lainnya,,,,!!!  
KEMUNAFIKAN ..... 'masalah kronis dalam hati'
KEMUNAFIKAN .... 'seperti menyimpan buah durian dalam peti'
KEMUNAFIKAN... 'kejahatan yang berjalan tanpa terlihat'

Rabu, 18 September 2013

BELAJAR DARI HISKIA



Pdt. Okter Tapilouw
2 Raja-raja 20:1-12
 
“Baliklah dan katakanlah Hizkia, raja umat-Ku: Beginilah Firman TUHAN, Allah Daud, bapa leluhurmu: Telah Kudengarr doamu dan telah Kulihat air matamu; sesungguhnya Aku akan menyembuhkan engkau; pada hari yang ke tiga engkau akan pergi ke rumah TUHAN". (ayat 5).

Hal yang paling mendasar  bagi setiap orang ketika diterpa ‘penderitaan’ adalah:  Keinginan untuk keluar dari penderitaan itu. Saya mengatakan paling mendasar; karena siapapun dia – setiap orang yang sedang diterpa  kesulitan hidup tertentu, sudah pasti berupaya mencari jalan keluar. Dengan kata lain, tidak ada satu manusiapun yang ingin berlama-lama menikmati penderitaan.
 Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan untuk terlepas dari penderitaan hidup ? Bagi orang percaya ‘doa’ merupakan “ekspresi hati” yang ditujukan kepada Allah, salah satunya ketika sedang berada dalam situasi hidup yang kurang menguntungkan.
 2 raja-raja 20:1-12 menceritakan tentang Raja Hiskia yang sakit keras; dan keterangan Alkitab mengatakan bahwa “Hiskia tidak akan sembuh lagi” alis tunggu saatnya untuk mati.
Hancur sudah harapan dan sia-sialah setiap usaha yang telah dilakukan untuk memperoleh kesembuhan, jika ternyata kita tahu bahwa hidup kita tinggal beberapa saat lagi. Kali ini, Hiskia benar-benar tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi – dan apa yang dia tahu bukan dari keterangan atau vonis tabib spesialis kerajaan, tetapi nubuat Allah melalui Nabi Yesaya. Saya kira, kalau  yang mengatakan adalah suster/mantri yang bertugas di jemaat anda, kemungkinan untuk mencari dokter yang lebih ahli masih bisa diupayakan; tetapi kalau itu adalah keputusan yang Maha Kuasa – bagaimana menurut saudara ? Masih adakah pengharapan ? kemana hedak kita melarikan diri ?
Biarlah Alkitab yang menjawabnya: Demikian dikatakan dalam Ibrani 6:18 “supaya oleh dua kenyataan yang tidak berubah-ubah, tentang mana Allah tidak mungkin berdusta, kita yang mencari perlindungan, beroleh dorongan yang kuat untuk menjangkau pengharapan yang terletak didepan kita”
Hiskia sungguh menyadari bahwa Keputusan Allah, tetaplah keputusan Allah dan tidak bisa terbantahkan oleh siapapun, tetapi apa yang terjadi selanjutnya: dikatakan pada ayat 2,3 …”Lalu Hiskia memalingkan mukanya ke arah dinding dan ia berdoa kepada TUHAN: “Ah TUHAN ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup dihadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik dimata-Mu.”kemudian menangislah Hiskia dengan sangat.               
Doa merupakan unsur  vital bagi orang percaya, dalam doa kita bergabung dengan TUHAN dalam suatu ikatan spiritual yang kudus, khidmat, dan menunggu penilaian Tuhan terhadap semua yang pernah mengambil bagian dalam seluruh langkah hidup kita (bnd. Yeremia 18:7-10). Pergumulan Hiskia mengajarkan sesuatu yang sangat penting dan menentukan bagi kita yang diterpa dengan rupa-rupa persoalan hidup, bahwa: Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha pengampun adalah Dia yang sedang menunggu, pengakuan yang jujur, serta kesungguhan untuk melakukan apa yang baik di mata Tuhan. Kesembuhan Hiskia, memperlihatkan Keagungan Kasih Tuhan, yang tidak tega melihat umatnya menderita dan mati karena dosa, dan tanpa pengharapan.
Orang percaya adalah kita semua dalam seluruh kelemahan dan keterbatasan diri, perlu mempunyai keyakinan Iman yang teguh, bahwa Allah sedang memperhatikan dan mengetahui apa yang terjadi dalam seluruh perjuangan kita – dan Dia yang mengetahui, adalah juga Allah yang sangat peka terhadap pengalaman-pengalam hidup, dan keberdosaan umat yang sering mengeluarkan air mata dikala sedang menderita, tetapi lebih banyak air mata takut mati, ketimbang penyangkalan diri; tetapi kalau sedang sehat membuat orang lain mengeluarkan air mata.
Nubuat Allah melalui Yesaya, lebih jauh menunjukan bahwa: Siapapun kita, yang berada dalam berbagai-bagai duka, membutuhkan juga pertolangan Allah yang memakai hamba-hambanya untuk menyatakan kuasaNya (bnd. Yakobus 5:14-15).
Ini kemudian menjadi peringatan bagi orang percaya agar tidak menjadi sombong rohani, yang merasa doanya lebih berkhasiat dari orang lain, dan bagi kita yang telah mengalami jamahan tangan Tuhan, sembuh dari penyakit dan berbagai duka lainnya; Sudah sepatutnya menjadikan Doa bukan semata-mata ritual yang simbolik, atau bagian dari liturgi ibadah keluarga, unit-unit pelayanan dalam jemaat, Ibadah Minggu digereja dan lainnya; seperti rutinitas yang berulang-ulang dan membosankan bagi sebagian orang yang kurang betah mengikuti ibadah, tetapi kalau sedang sekarat: menaikan doa permohonan minta ampun, minta kesembuhan, minta di berikan anak, minta kesuksesan, minta diberikan jodoh dan permintaan lainnya yang banyak-banyak.
Tetapi lebih dari itu; Doa haruslah juga menjadi tindakan yang nyata dalam keseharian hidup.
Titik tolak pengharapan orang percaya adalah iman. Yaitu Iman yang berdoa dan berharap secara penuh, kepada tindakan Allah yang akan mengambil bagian dalam hidup selanjutnya.
Bagi orang percaya, hanya  dengan kesungguhan imanlah; kita diberanikan untuk memasuki masa depan yang lebih berpengharapan bersama keluarga dan orang lain, meskipun harus mengalami perjuangan dan pergumulan hidup yang berat.  Semoga !!!

Selasa, 02 Juli 2013

MENGHADIRKAN RASA AMAN

Refleksi :Yosua 21:43-45
by : Tapilouw M. Okterlians

“Dan TUHAN mengaruniakan kepada mereka keamanan ke segala penjuru, tepat seperti yang dijanjikanNya dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka. Tidak ada seorang pun dari semua musuhnya yang tahan berdiri menghadapi mereka; semua musuhnya diserahkan TUHAN kepada mereka”. (Ayat 44).
Betapa pentingnya suatu keadaan yang aman, damai dan tentram;  mengapa ? hanya kondisi yang kondusiflah , memungkinkan orang bisa melaksanakan aktivitas kesehariaanya dengan baik. Pendek kata,  rasa aman mempermudah apapun yang akan dilakukan ; Karena itu, tanpa “keamanan” orang akan sulit mewujudkan tujuan-tujuan hidup yang lebih menjawab tuntutan dalam berbagai segi kehidupan – bahkan suatu bangsa yang besar sekalipun seperti Bangsa kita Indonesia tercinta ini – akan sulit bagi investor asing datang ke Negara ini, jika keamanannya tidak terjamin. Itu berarti keamanan menjadi kunci bagi kebanyakan orang, termasuk para pembesar Negara kita pun demikian. Saya kira saudara-saudara belum lupa  berita diberbagai media masa beberapa waktu lalu (Oktober 2010) “Presiden Republik Indonesia/ SBY membatalkan keberangkatannya ke Negeri Belanda” karena sekelompok orang Maluku yang menamakan diri RMS di Negeri itu menginginkan Presiden di Adili. Pembatalan itu, mungkin salah satunya karena Faktor keamanan.  ‘Lebih dari itu saya tidak tahu’.
 Ayat 43-45;  menekankan  penyataan kesetiaan Allah dalam memenuhi janji-Nya kepada nenek moyang mereka/Israel (bc. Kej 24:7; 26:3; 50:24), Tanah perjanjian disediakan kepada Keturunan Abrahan. Tetapi untuk masuk dan memiliki tanah itu, bukan dengan Cuma-cuma, atau seperti anak-anak menerima kado Natal – tetapi dengan perjuangan demi perjuangan, penaklukan-demi penaklukan, peperangan demi peperangan. Disinilah Allah menunjukan kasihNya dalam  setiap perjuangan dan kemenangan yang diraih bangsa itu. Bahkan disaat mereka menempati tempat itu pun; Tuhan tetap mengawal mereka (memberikan rasa aman).
Katakan saja bahwa: Allah sudah melaksanakan bagiannya – tinggal bagian umat itu – bagian saya dan anda, tugas kita semua.
Apa bagian kita ?
Pemazmur mengatakan dalam Mazmur 73:26 “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya”.  Dengan kata lain, bagian kita adalah melakukan kehendak Allah, dan apapun yang akan kita kerjakan nanti – orang percaya harus memulai dengan rasa suka atau cinta kehendak Allah. Mazmur 40:9 : “aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku”. Jadi, kita harus mencintai dulu kehendak Allah itu, baru bisa masuk ke level yang paling tinggi – seperti seorang pendeta, akan sulit baginya untuk menjadi tukang kayu sekaligus, jika tidak belajar dan tekun juga di bidang itu – lama-kelamaan bisa menjadi tukang kayu yang handal, sekaligus pendeta yang bukan cuma asal berkhotbah tetapi bisa bekerja, dan “menolong sesama” dengan tangannya.
Jadi, perjuangan Umat Israel itu, bukan hanya sebatas merebut tanah kanaan dan selesai, tetapi mereka juga harus berjuang lagi ditanah yang sudah didiami. Atau bagi bangsa Indonesia yang sudah merdeka, bukan berarti tidak berperang lagi;  Musuh yang satu sudah selesai, sekarang ada musuh yang lain lagi, yaitu: Keserakahan, penyalahgunaan kekuasaan, keterbelakangan, kemerosotan moral, tindakan kekerasan, pengrusakan alam, dan masih banyak lagi.
 Musuh-musuh ini diserahkan juga ke tangan kita, untuk dikalahkan.  Jika kita belum mengalahkannya, atau sedang hidup didalamnya, jangan katakan kalau kita sudah aman, sudah sejahtera dan sudah senang; Coba lihat disekeliling kita, ada banyak sekali orang-orang percaya yang tidak merasa aman, tertindas dan dipinggirkan, mungkin bukan saja karena mereka malas bekerja atau sulit mendapat pekerjaan, tetapi adakalanya keterpurukan mereka karena ulah kita juga; ulah saudara sendiri, kakak sendiri, orang tua kita, “bos-bos” kita dll. Jujur saja, kalau ternyata kehidupan warga jemaat masih diselimuti oleh kemungkinan-kemungkinan seperti ini juga.
Bagaimana pendapat saudara ?
Apa yang harus kita lakukan selanjutnya untuk menghadirkan “rasa aman”, ditengah-tengah hidup bersama ?
Salah satu poin dalam Pokok-pokok Iman Gereja Protestan Maluku tentang Bangsa akan menjawabnya: Kami percaya bahwa: Umat Kristen adalah bagian dari bangsa Indonesia dalam kerangka Kesatuan Republik Indonesia. Umat Kristen hadir di tengah-tengah bangsa Indonesia sebagai buah pekerjaan Roh Kudus dan di utus oleh Tuhan sendiri guna menghadirkan damai sejahtera Allah yakni kebebasan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Allah bagi dunia lewat partisipasi secara konstruktif di berbagai bidang dalam pembangunan.
Yang menyenangkan adalah (a) kita yang berjuang dalam kebenaran, (b) yang bekerja sesuai kehendak Allah, dan (c) terus mengejarnya untuk mewujudkan rasa aman/damai dan kesejahteraan bersama dalam keluarga, jemaat dan masyarakat pada umumnya. Semoga !

Rabu, 05 Juni 2013

PORTO - HARIA BARU



PORTO-HARIA BARU
Tanggung Jawab Dalam Pelayanan Gereja
Membangun Kebersamaan dan Persekutuan
Masyarakat Porto dan Haria
Oleh: Pdt. Okterlian.M. Tapilouw, S.Si

PENDAHULUAN

Tulisan ini disusun dan disampaikan, dalam rangka memberi arah  bagi Warga Masyarakat Porto dan Haria. Selanjutnya dikemukakan secara singkat saja – sesuai kendala-kendala yang bermunculan dalam hidup segenap warga masyarakat Porto dan Haria (Pantauan Tahun 2013).
Setelah menelusuri kejadian demi kejadian yang terjadi, serta upaya-upaya damai yang telah dilakukan berbagai pihak selama ini; karena itu tidaklah salah, jika kita memerlukan konsep “PORTO – HARIA BARU” atau arah bagi segenap warga masyarakat Porto & Haria untuk bertanggung jawab dalam menjawab perubahan yang telah terjadi.
           
KEBERSAMAAN, PERSEKUTUAN DAN TANGGUNG JAWAB WARGA JEMAAT:
Nilai sebuah kebersamaan yang tertuang dalam solidaritas hidup bersama yang mana mengambil bagian dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, tentunya saling berhubungan, memaknai dan melengkapi dengan aspek integritas (keterpaduan) yang amat mendalam pada nilai sebuah persekutuan yang telah menyatu padu dalam hidup Orang Porto maupun Haria dari generasi ke generasi.
Warga masyarakat Porto, adalah merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sesuai tatanan adatis yang telah membudaya, bahkan ketika Injil masuk dan merubah “generasi sebelumnya” membawa keluar dari kegelapan menuju Terang Kristus, demikian juga deng warga masyarakat Haria.
Dari segi kehidupan bergereja sudah tentu kedua belah pihak mendambakan berbagai perubahan dalam segi-segi kehidupan yang bisa menguntungkan kebersamaan dan “Persekutuan” (Sosial, kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, dll).
Bahwa dalam sebuah tatanan kehidupan berjemaat dan bermasyarakat, sudah tentu ada begitu banyak perbedaan dan tantangan. Karena itu, perbedaan pandangan atau cara berpikir yang cenderung sepihak, perlu dikritisi secara baik (arif dan bijaksana), agar tidak menimbulkan konflik internal maupun eksternal yang berkepanjangan. Sehingga, mau tidak mau harus di tata sedemikian rupa sesuai kondisi yang ada.
Sikap keterbukaan (inklusif), diharapkan bisa menjembatani berbagai perbedaan pandangan dan memberi penghargaan kepada sesama warga masyarakat, dalam rangka menyatukan segala perbedaan sebagai kekuatan; lebih tepat “Anugerah Tuhan” yang harus didayagunakan untuk membangun,  bukan untuk disepelekan. Dari sini, solidaritas kebersamaan; harus benar-benar terwujud dalam sikap dan rasa saling memiliki (Sens Of Belonging) serta saling sepenanggungan dan sepenanggung jawab (sense of Responsibility).
Hingga tahun 2013 ini, Konflik internal maupun eksternal telah memperlihatkan adanya berbagai kecenderungan “negatif” yang perlu ditindaklanjuti dengan melakukan langkah-langkah antisipatif, guna menyadarkan berbagai pihak – terkait dengan perubahan yang telah terjadi.
Kerja sama antara jemaat porto dan haria harus dikembangkan melalui program-program bersama (dalam mewujudkan perdamaian) dan ini harus dimulai dari Gereja. Ini sangatlah penting sebab Warga Jemaat GPM Porto dan Haria secara implicit sebagai “gereja yang sebenarnya” dengan segala ketidaksempurnaan, masih selalu ada dalam “situasi” keterpecahan dalam bingkai hidup persekutuan (Keluarga, jemaat, masyarakat). Karena itu, sebagai Gereja-gereja yang hidup, warga jemaat Porto dan Haria (POHAR) pada umumnya harus tetap siuman/sadar dengan kesiapan yang memadai, untuk turut ambil bagian dengan penuh rasa tanggung jawab, serta bahu –membahu memanggul beban, dan membantu memecahkan masalah dalam medan gumul bersama secara berkesinambungan. Prinsipnya; Seluruh Warga Jemaat Porto dan haria harus semakin kritis dan realistis terhadap segala bentuk kebijakan pelayanan yang menguntungkan kebersamaan; Bertolak dari pendekatan nilai-nilai dasar Iman Kristen, keberadaan masyarakat dari sisi adatis dan Wilayah Petuanan Porto dan Haria:
Dari sinilah kita perlu memandang “Negeri Porto dan Haria“ sebagai “RUMAH BERSAMA” tempat  perjumpaan anak-anak negeri kedua belah pihak dari generasi ke generasi untuk membangun kebersamaan dan persekutuan yang lebih nyaman, bermutu dan penuh makna; dengan demikian, dibutuhkan kesadaran aksi yang menyapa di antara sesama saudara dalam upaya membentuk serta mempertahankan “Identitas Kebersamaan”/”GENEPHA”Generasi Negeri Porto-Haria sebagai satu kekuatan fungsional untuk menggerakan, mengontrol dan mengendalikan serta mengarahkan aktivitas seluruh komponen dalam jemaat GPM dan negeri kedua belah pihak  dalam rangka mewujudkan ideal-ideal kehidupan bersama. Dengan begitu, kita akan lebih leluasa menentukan sikap hidup yang berpihak pada keadilan, kejujuran dan kebenaran secara terbuka (tanpa memisahkan diri atau dibatasi dengan “batas wilayah” kekuasan dll). Bukan tidak mungkin arah seperti ini, diharapkan lebih menghidupkan fungsi-fungsi kebersamaan yang telah menjadi bagian hidup bersama/berdampingan hingga saat ini.

PORTO – HARIA BARU (PHB): MENANTANG JAWAB PERUBAHAN:
PHB yang dimaksudkan disini bukanlah sebuah pemberian nama baru bagi lokasi tertentu, tetapi lebih menunjuk kepada “GENEPHA” yang telah menjawab tantangan dan bersedia membuka diri, saling membarui, dan mau mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis, yang dibangun atas dasar iman, cinta kasih dan kebersamaan demi kepentingan bersama segenap warga jemaat  dan Negeri yang telah menjawab berbagai harapan dan kerinduan untuk berubah.
Pemahaman seperti ini hendak menitikberatkan pada aspek integritas  dari persekutuan yang memandang kehidupan bersama secara utuh dan terpadu. Karena itu, tidak perlu ada pengkotak-kotakan antara yang lama dan baru, atau layak dan tidaknya “satu negeri” dan orang-orang yang berdiam di dalamnya; tetapi semuanya ada dalam satu kebersamaan yang mau berubah dan siap menerima perubahan dan pembaruan. Sehingga tidaklah salah, jika kita diajak untuk ada dalam semangat persaudaraan  seperti itu.
Adapun beberapa hal yang perlu dilihat dan dijadikan sebagai tolak ukur dalam menantang jawab perubahan yang sedang terjadi dan akan terus mengalami berbagai perkembangan ke depan.

1.       Interen Jemaat:

a)      Wilayah Pelayanan Jemaat GPM Porto dan Jemaat GPM Haria,   kenyataan ini tidak perlu dilihat secara terpisah atau pandangan sempit lainnya yang menjurus pada sikap memisahkan diri dari persekutuan awal yang sesungguhnya. Sebelum persekutuan bisa dikatakan untuk dan terpadu, jika sikap saling menerima dinampakan oleh orang-orang didalamnya (sebagai warga GPM)
b)      Berupaya mengembangkan sikap hidup bergereja dan bermasyarakat mulai dari pribadi-pribadi  dalam keluarga, lewat berbagai kegiatan pelayanan yang dikembangkan, serta memberi peluang untuk pengembangan lebih luas dan menjangkau hubungan-hubungan kekeluargaan dan atau persaudaraan  yang lebih berarti, dalam rangka membentuk sikap hidup yang lebih dewasa, sehingga diharapkan dapat berfungsi  secara maksimal dalam menciptakan dan mengembangkan kerukunan, merasa bertanggung jawab serta memberi semangat atau saling mendorong kearah pembaruan hidup yang lebih menghidupkan (Pembinaan/Pastoral/Ibadah, dll).
c)       Perlu ditingkatkan sikap keterbukaan sesuai batasan etis dan kehidupan moral yang bertanggung jawab dan karena itu, sikap ketertutupan yang ingin menang sendiri, atau sikap egois lainnya perlu dihilangkan sehingga sinergisitas pelayanan diberbagai kalangan dalam jemaat, dapat terarah dan terwujud secara baik.
d)      Untuk membangun kebersamaan “Pasca perbantahan”, Perlu kehati-hatian majelis Jemaat dalam menempuh kebijakan-kebijakan pelayanan dan kemudian berupaya menjembatani sikap-sikap warga jemaat yang cenderung ekstrim terhadap arah pelayanan, lewat “tindakan-tindakan tertentu”yang terkadang tidak kondisional .
Bertolak dari perubahan demi perubahan yang telah terjadi, maka arah pelayanan ke dua jemaat pun perlu diselaraskan dengan kenyataan yang sedang terjadi, sehingga seluruh warga jemaat pada dua negeri (POHAR) merasakan sentuhan yang seimbang.
Dimensi/ukuran tanggung jawab dalam menantang perubahan pada bagian ini; tidak lebih dari sebuah harapan yang perlu menjadi dasar penilaian, untuk kemudian menilai dan memaknai rentetan perjalanan bersama hingga saat ini: Mau tidak mau, memaksa kita segera mengambil keputusan demi kepentingan bersama, sehingga pada poin berikut ini; Ada beberapa hal (Rekomendasi Pikir) yang perlu ditindaklanjuti bersama, dalam membangun persekutuan:

Membangun Hubungan Antar Sesama Warga Jemaat/Desa “Porto –Haria” Perangkat Majelis Jemaat, Pemerintah Desa dan Orang Bersaudara di Tanah Rantau:
a)      Dalam Upaya membangun hubungan yang harmonis dikalangan Warga Jemaat dan atau Masyarakat Porto - Haria, pertama-tama harus muncul kesadaran sehati sepenanggungan, melalui perwujudan sikap yang mau berubah, siap di ubah, dan kualitas sumber daya warga jemaat yang dewasa dalam menantang berbagai perkembangan dan perubahan di segala bidang kehidupan; dengan memandang segala perbedaan sebagai berkat bukannya yang bersifat ancaman.
b)      Perlu dilakukan penguatan hidup bergereja pada kedua jemaat melalui sector/unit-unit pelayanan; Wadah pelayanan – anak/remaja dan pemuda sebagai Tulang Punggung Gereja, masyarakat dan bangsa  lewat kegiatan-kegiatan (sharing, diskusi, dialog dll), yang lebih mengena sesuai kebutuhan segenap warga jemaat secara berkelanjutan, sehingga komunikasi personal maupun kelompok lebih tertanggung jawab.
c)  Majelis Jemaat sebagai Motor Penggerak Pelayanan dalam Jemaat, perlu meningkatkan pelayanannya  secara lebih fungsional  ditengah-tengah perbedaan pandangan, sesuai kenyataan hidup warga jemaat yang cenderung mengambil keputusan-keputusan pribadi yang pada kenyataannya bisa berdampak negatif  dan tidak menguntungkan kebersamaan.
d)      Untuk meningkatkan hidup bersama kedua jemaat dan Desa, maka perlu ada sinergisitas antara Majelis Jemaat dan Pemerintah Desa dalam rapat-rapat dan lainnya semacam itu; sesuai fungsi, tugas,  dan tanggung jawab masing-masing dalam menghadapi musuh bersama yakni: “ Kemiskinan, Kebodohan, dan keterbelakangan. Bagaimanapun juga, hidup berjemaat dan bermasyarakat secara kualitatif (mutu), turut dipengaruhi oleh kepemimpinan dalam jemaat dan Desa. Ini menjadi penekanan yang sangat penting, karena disadari bahwa Majelis jemaat sebagai bagian integral dari Gereja, tidak serta merta lalu menjadi seperti Pahlawan Tunggal bagi keseluruhannya; Sebab di tengah-tengah kebersamaan  dan atau persekutuan , semuanya mendapat panggilan dan pengorbanan yang sama – karena itu, semua harus berjuang demi pencapaian ideal-ideal kehidupan bersama selaku “GENEPHA” (generasi  Porto – Haria) yang membahagiakan ; sehingga Majelis Jemaat, Pemerintah Desa, Para Guru,  dan berbagai pihak  (Semua stakeholder) pada kedua Jemaat semakin meningkatkan “harkat dan martabat”  rasa percaya diri dan harga diri warga jemaat atau Desa secara menyeluruh dan berkelanjutan disegala bidang kehidupan (baik jasmani, maupun rohani, fisik maupun non fisik, mental maupun spiritual, sosial, ekonomi,politik, serta pikiran pembaruan). 

Pada aras ini, mengarah pada upaya “PENANGANAN LAPISAN GENEPHA” yang berada pada posisi tertinggal dan jauh dalam berbagai persaingan, dalam artian berada pada posisi menunggu. Demikian gambaran sebuah harapan, serta arah dalam menantang perkembangan dan upaya yang perlu dicapai dalam membangun persatuan dan persaudaraan Negeri Perto dan Haria.